Prespektif
Akhir pekan lalu seorang kolega favorit saya bertanya, “kenapa sih mas kok belajar ini-itu yang bukan bidang mas?” Jawaban simple yang bisa saya ajukan adalah untuk membangun jejaring dan mencoba kaca mata baru. Mungkin ini jawaban yang kurang memuaskan. Namun, sesederhana dua alasan itulah alasan saya belajar hal-hal baru di luar keahlian saya.
Sekira tahun 2009 saya membaca sebuah tulisan Alm. Om Nukman Luthfie dalam blognya, sudutpandang.com. Pemahaman yang saya tangkap dari tulisannya adalah satu benda bisa diineterpretasikan berbeda bagi setiap orang tergantung dari sudut pandang dan jarak pandang. Kebanyakan dari kita mengenalnya dengan istilah perspektif.
Ketika saya menyebutkan prespektif, maksud saya tidak hanya berbicara tentang sudut pandang dan jarak pandang. Sebenarnya masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Jika kita analogikan seperti mata kita saat memandang sesuatu, maka di antara mata kita dengan benda yang kita lihat ada ruang yang tidaklah benar-benar kosong. Ada yang di antaranya terdapat lensa kaca mata, ada debu atau kabut yang menghalangi pandangan kita, atau mungkin justeru mata kita lah yang sudah rabun.
Tak hanya berlaku untuk benda-benda fisik, prespektif pun berlaku dengan hal-hal abstrak seperti permasalahan, masa depan, perasaan, dan masih banyak contoh hal-hal abstrak lain.
Memandang permasalahan butuh berbagai prespektif supaya memperoleh gambaran yang lebih utuh. Setelah memperoleh gambaran yang lebih utuh, kita dapat merumuskan penyelesaian masalah dengan cara-cara yang lebih tepat. Pada akhirnya kita memandang permasalahan dari berbagai prespektif ini tujuannya adalah mencari solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan.
Terkadang ketika kita memandang suatu permasalahan hanya dari sedikit prespektif, alternatif penyelesaian permasalahan kita juga dangkal dan dapat memunculkan unintended consequences, konsekuensi-konsekuensi yang tidak terpikirkan dan tidak kita harapkan.
Kita tidak cukup mengandalkan diri sendiri untuk mendapatkan gambaran utuh suatu permasalahan. Kita memerlukan prespektif-prespektif lain di luar keahlian kita. Untuk itulah kita perlu menyiapkan opsi-opsi kolaborasi lintas keahlian. Di sini jejaring relasi lintas sektoral sangat terasa manfaatnya.
Namun, jika memang dalam kondisi khusus tidak memungkinkan untuk melibatkan pihak lain, entah karena alasan kerahasiaan atau memang ego diri, setidaknya dengan mempelajari hal-hal baru kita bisa mengenakan kaca mata berbeda untuk memperkirakan seperti apa prespektif lain. Meski tidak mendalam, setidaknya cukup untuk memperoleh gambaran lebih utuh dari pada gelap sama sekali.
Sebaliknya, jika memang kita diperlukan dalam kerja-kerja kolaborasi lintas sektoral setidaknya dengan kita mempelajari gambaran umum dari setiap bidang keahlian, kita dapat memahami cara berpikir partner kolaborasi. Dengan begitu lebih mudah bagi kita untuk connect dalam berkomunikasi.
Ketika saya mempelajari hal-hal baru di luar bidang saya, saya berharap orang lain tidak berekspektasi bahwa saya akan menguasai layaknya seorang ahli yang memang bidang itulah yang mereka pelajari sejak awal dan mereka lakukan dalam keseharian.
Ya, saya memang selalu belajar dengan serius. Namun, manusia yang memiliki “bakat” sejak lahir dan diasah terus menerus tentu saja dalam memandang sesuatu dari prespektifnya lebih mendalam pemahamannya dibandingkan saya yang hanya tau cangkang saja.
Mintalah pendapat orang lain bagaimana memandang sesuatu dari prespektifnya. Jika tidak bisa, pinjamlah kaca matanya.