EEWS: Beberapa Detik yang Menentukan

Bahwa di atas tanah kita yang berguncang, kita tetap bisa berdiri. Bahwa dari kedalaman bumi yang tak bisa kita kendalikan, kita masih bisa menciptakan ruang untuk keselamatan, bahkan jika hanya untuk beberapa detik yang menentukan.

Bayangkan jika kita punya waktu, bahkan hanya beberapa detik, untuk bersiap sebelum gempa bumi mengguncang. Detik-detik itu bisa menjadi pembeda antara keselamatan dan bencana, antara nyawa yang terselamatkan dan kehilangan besar, antara hidup dan mati. Dalam tiga dekade terakhir, Indonesia telah berkali-kali menghadapi gempa bumi signifikan yang memakan korban jiwa, merusak infrastruktur, bahkan mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi. Meski kita telah belajar dari berbagai bencana alam dan menerapkan berbagai langkah mitigasi, satu pertanyaan besar masih menggantung:

Mengapa kita belum memiliki sistem peringatan dini gempa bumi yang modern dan dapat diandalkan?

Sebagian besar masyarakat masih memiliki pemahaman keliru bahwa gempa bumi dapat diprediksi secara akurat. Kita sering mendengar klaim tentang prediksi gempa yang ternyata tidak berdasar, atau bahkan menyesatkan. Kenyataannya, hingga kini belum ada teknologi yang mampu memprediksi dengan pasti kapan dan di mana gempa bumi akan terjadi. Yang dapat kita lakukan adalah memperkirakan potensi kegempaan berdasarkan data sejarah kegempaan, model seismik, dan pergerakan lempeng tektonik.

Pernah mendengar tentang Megathrust? Gempa bumi megathrust bukanlah prediksi realtime yang dapat diketahui secara akurat seberapa besar, kapan, dan di mana akan terjadi. Gempa Megathrust adalah potensi yang dihitung berdasarkan kajian ilmiah, sejarah kegempaan, model seismik, dan pergerakan lempeng tektonik. Sikap yang mestinya kita ambil adalah meningkatkan kewaspadaan, memperkuat upaya mitigasi supaya jika sewaktu-waktu terjadi, kita sudah siap dan dapat meminimalkan dampaknya.

Meski kita tidak bisa memprediksi, bukan berarti kita tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa negara telah melangkah maju dengan mengembangkan sistem yang disebut Earthquake Early Warning, peringatan dini gempa bumi. EEW merupakan sistem yang memungkinkan untuk memberikan peringatan dini beberapa detik sebelum gelombang gempa merusak mencapai lokasi penerima peringatan. Ini bukan prediksi, melainkan deteksi yang sangat cepat. EEW bekerja dengan memanfaatkan perbedaan kecepatan antara gelombang primer (P-wave) yang menjalar cepat tetapi less destructive dan gelombang sekunder (S-wave) yang menjalar lebih lambat tetapi berpotensi lebih merusak. Gelombang P yang datang terlebih dahulu bisa dideteksi oleh sensor seismik. Sistem kemudian menghitung perkiraan waktu kejadian gempa, kekuatan gempa, lokasi sumber gempa, serta potensi guncangan di berbagai lokasi. Informasi potensi guncangan ini lalu disebarkan secara cepat ke wilayah yang masih memiliki waktu beberapa detik untuk merespon sebelum gelombang sekunder yang lebih merusak tiba.

Negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, Taiwan, dan Meksiko telah berhasil menerapkan sistem EEW. Di Jepang, sistem ini telah digunakan selama bertahun-tahun dan terbukti menyelamatkan banyak nyawa. Saat gempa besar melanda Tohoku pada 2011, sistem EEW Jepang berhasil memberikan peringatan hingga 80 detik sebelum gelombang yang lebih merusak mengguncang Tokyo. Peringatan ini memungkinkan masyarakat untuk berlindung, operator kereta cepat menghentikan laju kereta, dan sektor-sektor penting seperti rumah sakit dan pabrik bersiap menghadapi dampaknya.

Sistem ini bukan sekadar kecanggihan teknologi, melainkan bentuk nyata dari perlindungan terhadap nyawa manusia. Dampaknya bisa sangat luas. Bayangkan jika anak-anak di sekolah bisa berlindung di bawah meja (DropCoverHold On), pengemudi kendaraan bisa mengurangi kecepatan, transmisi gas tekanan tinggi bisa menutup katup (valve) otomatis untuk mencegah kebocoran, operasi pemboran migas dapat dihentikan untuk mencegah blow-out, dan pabrik yang menggunakan bahan kimia berbahaya bisa segera menutup area berbahaya untuk mencegah pencemaran. Semua itu hanya butuh waktu beberapa detik dan EEW bisa memberikannya.

Di Indonesia, potensi penerapan EEW sangat besar. Beberapa wilayah seperti Jawa dan Bali sudah memiliki jaringan sensor seismik dan infrastruktur komunikasi yang memadai. BMKG juga telah mengembangkan prototipe InaEEWS di wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta. Teknologi strong motion sensor seperti force balance accelerometer dan MEMS accelerometer sudah mulai digunakan dalam skala terbatas. Hal ini bisa menjadi dasar teknis yang kuat untuk pengembangan lebih lanjut dan ekspansi ke area lain. Selain itu, dengan meningkatnya penetrasi smartphone dan jaringan internet, distribusi peringatan ke publik bukan lagi sesuatu yang mustahil.

Namun, tantangan yang kita hadapi bukan sebatas soal teknis di sisi sumber informasi (upstream). Salah satu kendala utama adalah bagaimana pesan peringatan bisa dikirim secepat mungkin ke sebanyak mungkin orang yang berpotensi terdampak melalui media diseminasi yang tepat di sisi perantara (midstream). Sistem SMS massal yang selama ini digunakan terbukti terlalu lambat dan tidak andal untuk konteks EEW karena masih mengandalkan SMS Server yang tidak didesain untuk mendiseminasikan informasi secara cepat dan massal. Negara lain telah beralih ke sistem yang disebut Wireless Emergency Alert (WEA) atau Cellular Broadcast, yaitu teknologi yang dapat mengirim pesan langsung ke ponsel dalam waktu hanya 2-10 detik tanpa bergantung pada jaringan internet atau kapasitas SMS server. Indonesia perlu mengadopsi pendekatan serupa dengan melibatkan BMKG, BNPB, Komdigi, Badan Regulasi Telekomunikasi, dan operator telekomunikasi dalam satu kerangka kerja terpadu.

Prototipe Sistem Peringatan Dini Gempa Bumi (InaEEWS) BMKG
(Sumber: Instagram @infoBMKG)

Lebih dari itu, keberhasilan EEW juga sangat bergantung pada kesiapan masyarakat selaku penerima informasi (downstream). Sistem secanggih apa pun tidak akan bermanfaat jika masyarakat tidak tahu bagaimana merespon peringatan, misal sesederhana melindungi diri (DropCoverHold On). Oleh karena itu, edukasi publik menjadi krusial. Kita perlu membangun literasi kebencanaan yang kuat di kalangan masyarakat. Bunyi sirine di ponsel bukan hal yang menakutkan, melainkan tanda untuk bertindak cepat dan tepat. Sosialisasi harus dilakukan secara konsisten melalui media massa, media sosial, lembaga pendidikan, dan komunitas lokal. Simulasi dan latihan berkala juga penting agar respon cepat menjadi kebiasaan.

Dari sisi kebijakan, perlu ada regulasi yang mendukung integrasi sistem EEW ke dalam perencanaan nasional dan daerah. Hal ini mencakup alokasi anggaran, standar teknis, integrasi dengan sistem informasi geospasial, serta keterlibatan lintas sektor seperti transportasi, energi, pendidikan, dan industri. Pemerintah pusat memiliki peran strategis untuk mendorong kolaborasi antara lembaga riset, penyedia teknologi, akademisi, dan masyarakat sipil dalam membangun sistem yang adaptif dan berkelanjutan.

Mengapa ini penting? Karena setiap kali kita gagal dan menunda membangun sistem seperti ini, kita membuka ruang bagi kerugian yang seharusnya bisa dicegah. Nota Keuangan RAPBN 2025 dan Data BNPB menyebutkan bahwa kerugian ekonomi akibat gempa bumi besar di Indonesia bisa mencapai lebih dari 100 triliun rupiah dalam satu kejadian. Sementara itu, biaya pembangunan sistem EEW nasional secara bertahap mungkin hanya sebagian kecil dari angka tersebut. Dalam jangka panjang, investasi ini akan jauh lebih hemat dibandingkan biaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

Implementasi EEW bukan sekadar proyek teknologi, tetapi wujud dari tanggung jawab negara dalam melindungi warganya. Ini adalah wujud nyata dari upaya membangun masyarakat yang tangguh, tidak hanya pasif menerima jika terjadi bencana, tetapi aktif bersiap dan merespons dengan tepat. Ini adalah jalan menuju masa depan di mana bencana tidak selalu berarti terhentinya kehidupan akibat kehancuran, tetapi dapat dihadapi dengan kesiapsiagaan dan ketahanan. Dengan demikian peringatan dini dapat menjangkau semua orang, aksi dini dapat dilakukan oleh semua orang.

Kita tidak bisa mencegah gempa bumi terjadi, tapi dengan pengetahuan, kolaborasi, dan teknologi, kita bisa mengurangi dampaknya secara signifikan. Bahwa di atas tanah kita yang berguncang, kita tetap bisa berdiri. Bahwa dari kedalaman bumi yang tak bisa kita kendalikan, kita masih bisa menciptakan ruang untuk keselamatan, bahkan jika hanya untuk beberapa detik yang menentukan.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Situs ini menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda dalam menelusuri situs ini. Kami akan menganggap Anda setuju dengan ini, tetapi Anda dapat memilih meninggalkan halaman ini jika tidak setuju. Setuju Baca Selengkapnya